Rabu, 09 Februari 2011

Tugu Marga, Seni Penyadaran Bagi Orang Batak

ANTROPOLOGI SENI :
TUGU MARGA, SENI PENYADARAN BAGI ORANG BATAK
Oleh: Dr. Daulat Saragi, M.Hum.

Tugu merupakan bagian penting bagi kebudayaan Batak. Berbagai upaya dilakukan kelompok marga untuk dapat mendirikannya. Semakin mewah bentuknya dan semakin besar ukurannya, maka semakin bangga  kelompok yang memilikinya. Pendirian tugu sangat penting, karena sebagian orang Batak masih mempercayai adanya hubungan manusia dengan roh si mati. Makna tugu sebenarnya adalah jauh daripada fungsi bangunan itu sendiri.  Bagi sebagian orang Batak selalu memesankan kepada keturunannya agar kelak ia tua dan meninggal, jenazahnya dikuburkan ke kampung halamannya, walaupun ia berada jauh di tanah rantau seperti pulau Jawa. Hal ini terdapat dalam filosofi Arga do bona ni pinasa (betapa pentingnya kampung halaman), kampung halaman, tempat leluhur merupakan suatu hubungan sosial agar keturunannya tidak lupa pada leluhurnya.
Tugu adalah sebuah karya seni  yang mengandung makna untuk peringatan suatu peristiwa, atau untuk menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Tugu boleh saja hanya berupa tiang besar terbuat dari batu, atau sebuah patung atau bangunan. Dahulu di India disebut Stamba, sebuah tiang besar sebagai tanda peringatan pertama sekali suatu suku mendirikan kampung. Di Palestina,  Yakub mendirikan batu yang dibuat sebagai alas kepala ketika ia tidur, ia namai tempat itu Betel sebagai peringatan bahwa tempat itu merupakan pintu gerbang surga. Bagi suku Indian, mereka menyusun beberapa batu  sampai tinggi, sebagai tanda sebuah perkampungan dan kuburan kepala suku.
Dalam istilah Batak, Tugu disebut juga Simin (maksudnya bangunan terbuat dari semen, dibedakan dari makam biasa). Tambak disebut pada bangunan makam yang agak tinggi tempat dikumpulnya tulang-belulang nenak moyang beberapa generasi. Tugu hanyalah disebut untuk bangunan tanda peringatan atau perkumpulan suatu marga. Diharapkan dapat mempersatu marga yang telah berkembang bercabang-cabang, dan sekaligus dapat mengatahui histori nenak moyangnya.

Tugu, Sebagai Meterai Kepemilikan Wilayah
Salah satu fungsi tugu adalah secara sosial dan politis sebagai pemberitahuan pemilik tanah atau huta (kampung). Nama kampung sesuai dengan nama marga penghuninya, dalam arti marga itulah yang membuka kampung itu dahulunya. Kampung A adalah dihuni marga A. Sifat patrialkal orang Batak membuat marga istri tidak masuk marga tanah. Tidak heran di setiap kampung selalu didirikan tambak (bangunan tempat tulang-belulang leluhur) dari beberapa generasi satu marga, atau tugu peringatan kesatuan marga tanah. Pentingnya mendirikan tugu bagi masyarakat Batak disebabkan sifat orang Batak suka merantau dan terbuka, tidak heran sekarang ini banyak kampung telah dihuni marga-marga lain di luar marga tanah bahkan suku-suku lain. Oleh sebab itu  berdirinya tugu dan patung merupakan suatu pemberitahuan dan meterai hak kepemilikan tanah suatu marga.
 Fungsi tugu dan tambak jauh melebihi seperti apa yang diketahui orang, ada dimensi lain yang mampu menembus spasial-temporal dan pemersatu marga, serta menjunjung tinggi filosofi Argado bona ni pinasa.
Setiap orang Batak sangat mencintai kampung halamannya, setiap orang yang mencantumkan nama marga di belakang namanya, pasti tahu asal marganya atau kampung halamannya.  Kembali ke kampung halaman dalam arti kembali ke haribaan ibu, kembali pada kesucian “rahim” ibu yang melahirkan. Merenungkan kembali segala perjalanan hidup di rantau orang. Kampung halaman adalah “rahim” tempat ia dikandung, dilahirkan dan dibesarkan, refleksi pengenalan pada diri sendiri. Kembali ke makam leluhur sebagai membangunkan kesadaran bahwa semakin dekat pada kematian, dan setiap orang pasti mati, oleh sebab itu amal dan sumbangsihnya pada kampung halaman harus merupakan suatu “tugu” hidup yang bermanfaat pada masyarakatnya.
Orang Sukses tidak pernah melupakan kampung halamannya, kampung halaman adalah hulu dari segala detak nadi aktivitas, menyadarkan kembali siapa ia sebenarnya, apa yang sudah ia perbuat. Hilir segala aktivitas ternyata menghantarkan ia pada hulu atau awal kehidupan yang bermakna. Apalah arti sebuah tugu kalau hanya sebuah pelipur mata dan penopang wibawa. Tugu akan lebih bermakna jika ia bisa hidup dalam hati masyarakat sekelilingnya, seperti bangunan sekolah, kesehatan, dan bea siswa sampai S2 dan S3. Bukankah kelak seorang anak bangga apabila ia meraih gelar Doktor dari bea siswa kumpulan marga kampungnya sendiri?. Inilah Tugu yang benar-benar tangguh. Tugu sebagai tanda peringatan bahwa kampung halaman sebagai hulu aliran air akan mencapai hilir pada hulu semula.

Pro-Kontra Mendirikan Tugu
Sejak lama sudah terjadi pro-kontra pembangunan tugu, namun tetap saja muncul tugu-tugu baru yang biayanya  cukup mahal. Bangunan tugu bisa sampai menelan biaya ratusan juta, apalagi dilengkapi dengan relief dan patung-patung yang indah. Memang mubajir jika dibandingkan dengan keadaan kehidupan di daerah itu.  Harus diakui bahwa pemrakarsa pendirian Tugu bukanlah warga setempat, melainkan orang-orang perantau yang sukses. Namun  demikian warga setempat selalu turut berpartisipasi, karena membawa nama marga leluhur.
Yang patut diperhatikan, mendirikan tugu jangan menjadi ajang gengsi, ingin lebih hebat dari marga lain. Dalam setiap kehidupan, Tugu sangat diperlukan sebagai simbol peringatan suatu peristiwa, agar peristiwa sejarah itu tidak gampang dilupakan. Sama dengan nama diri adalah tugu dari segala prilaku raga dan jiwa. Mendengar atau mengingat nama, orang dapat teringat akan sesuatu peristiwa yang mengagumkan, menjengkelkan, menggelikan dari laku hidup yang punya nama. Tidak mudah menjadikan nama diri menjadi tugu, dan tidak mudah menjadikan tugu untuk selalu dikenang. Prilaku yang peduli kepada lingkungan sekitar, prilaku yang peduli pada kemiskinan, prilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, justru inilah merupakan tugu yang bermakna bagi orang lain. Melihat tugu sama dengan membuka kesadaran bahwa kita belum apa-apa walau sudah berbuat. Bahwa kita sadar masih miskin rasa, walau kita sudah kaya harta. Dan justru kita masih cerai berai walau kita berusaha satu.
Saran
Kadung membuat Tugu, jangan tanggung-tanggung, buatlah yang mampu bercerita, penuh dengan relief-relief perjalanan sukses nenak moyang seperti yang sudah dibuat marga-marga tertentu di sekitar tepi Danau Toba.  Jadikanlah Samosir dengan julukan Pulau Seribu Tugu, asal-usul marga Batak sesuai Legenda, apalagi nama-nama kampung di samosir adalah nama-nama marga orang Batak. Kelak perantau sukses meraka akan kembali keharibaan ”rahim” bona pasogit (kampung halaman) sebagai hulu dari perjalanan hidup. Dari pada Pro-kontra yang tidak ada hasil, Ceng Beng pada orang Tionghoa dapat ditiru orang Batak, untuk berkunjung ke makam leluhur. Kita pasti sudah lebih arif untuk tidak menjadikannya berhala melainkan jadi objek wisata. Dan bukankah ini dapat menjadi paket wisata akhir tahun yang menjanjikan Pemkab Samosir?. Sebab Tugu yang didirikan di desa A adalah simbol pemersatu marga A di seluruh dunia. Suatu Local Wisdom yang patut dilestarikan menjadi Nation Wisdom.
(Penulis: Pengajar Filsafat di Program Studi Antropologi Sosial Sekolah Pascasarjana UNIMED).

1 komentar: