Rabu, 09 Februari 2011

Psikologi Seni : Menafikan Prasangka Negatif Pada Ego Strength Seorang Seniman

Oleh. Dr. Daulat Saragi, M.Hum.

Tidak benar para jenius terbesar di bidang seni adalah orang yang secara emosional tidak stabil, bahkan mungkin sedikit “gila”. Sudah tidak masanya lagi kalau seniman selalu dianalogikan dengan “manusia sinting” karena karya-karyanya diluar kebiasaan. Justru sesuatu yang tidak biasa, hal apa yang dia perbuat menjadikan dia menjadi seorang seniman yang memiliki kekuatan ego (ego strength). Tidak benar kalau seniman memiliki gen neurosis atau kegelisahan, Ellen Winner (1982), dalam bukunya Invented World: The Psychology of the Arts menjelaskan hasil penelitiannya, bahwa seniman kreatif memiliki ego yang sangat kuat dan tingkat kemandirian yang tinggi.

Kekuatan Ego yang Positif
Setiap manusia yang tidak dapat mengontrol dirinya adalah termasuk mengidap penyakit jiwa. Penyakit jiwa ada dua, yakni amatia (hilang ingatan) dan mania (gila-gila). Hampir semua manusia dewasa dan bahkan remaja mengidap pengakit jiwa, tidak stabilnya kontrol diri termasuk di antaranya. Terkadang orang membanggakan kegilaannya dengan mengatakan “saya gila bola”, saya gila memancing”, “saya gila melukis”, walaupun kegilaan positif, pasti akibatnya negatif. Nonton bola dengan tidak kontrol diri, teriak-teriak, taruhan, dan sampai lupa kerja esok pagi, termasuk penyakit jiwa golongan mania. “Gila mancing” dan “gila catur”, membuat lupa siang dan lupa malam, akhirnya juga lupa pulang, lupa  janji, lupa istri dan anak-anak, bukankah kelompok ini mengidap penyakit jiwa?
Van Gogh sampai sakit-sakitan karena tidak mampu mengontrol diri, tidak mengenal waktu istrahat dan lupa makan-minum hanya dengan melukis saban hari. Ia tidak perduli lukisannya tidak laku, akhirnya ia menjual harta bendanya hanya untuk membeli material lukisannya. Keharuman namanya sebagai pelukis aliran baru masa itu hanyalah mencuat setelah ia lama meninggal. Van Gogh adalah orang yang secara emosional bukan tidak stabil, melainkan memiliki kekuatan ego (ego strength) yang positif..
Di sisi lain, tidak akan muncul seorang maestro kalau tidak memiliki Ego Strength, seniman tidak gampang terpengaruh oleh apapun dan situasi apapun, bahkan seorang seniman berusaha merubah apapun dan situasi apapun. Maestro seorang yang eksis dengan ide-idenya, sehingga ia bisa merubah selera, merubah zaman, bahkan merubah peradaban. Gaya melukis Affandi yang aneh (pada masa itu) bukan berarti ia menderita neurosis atau kegelisahan, sebaliknya ia memiliki ego yang sangat kuat dan tingkat kemandirian yang tinggi. Ejekan apapun yang dilontarkan sahabat-sahabatnya (di kalangan Persagi) masa itu, sepertinya tidak mampu mencairkan kekuatan egonya. Semua manusia yang melek seni mengetahui, tidak ada yang mampu menyamai Van Gogh atau Affandi hingga kini, kecuali orang berusaha merepro karya-karyanya dengan teknologi computer.
Freud membedakan antara penderita  neurosis, yang secara kuat menekan kekuatan nalurinya, dan para seniman, yang menghaluskan kekuatan yang sama ke dalam kegiatan yang produktif dan memuaskan. Ilmuan mampu memprediksi apa yang terjadi setelah ada kejadian, logika dan naluri juga mempengaruhi alam bawah sadar seorang ilmuan.
Seniman memiliki ego yang sangat kuat dan tingkat kemandirian yang tinggi, jikalau hal ini tidak dimilikinya maka seniman tidak akan mampu mempertahankan konsep ide karyanya.  Seniman harus memiliki kekuatan ego akan gaya dalam berkarya. Van Gogh  pernah dituduh “gila” karena melukis dengan gaya yang aneh, lukisannya tidak pernah laku semasa hidupnya, namun dengan kekuatan egonya, ia tidak pernah merobah gaya lukisannya. Kekurang peduliannya terhadap kesehatan dirinya membuat ia sakit-sakitan pada masa tuanya.

Seniman Lebih Berpengaruh
Para Peneliti di Institute for Personality Assesment and Research Berkeley melakukan penelitian langsung terhadap orang-orang kreatif, di antaranya: pelukis, arsitek, politikus, antropolog, atlet, dan matematikawan. Ditemukan bahwa seniman paling kreatif, umumnya tidak menderita neurosis atau kegelisahan jika dibandingkan dengan seniman yang kurang kreatif. Dibandingkan dengan pakar lainnya menunjukkan bahwa selain seniman kreatif memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Meskipun mereka tidak dikatakan neurotik, mereka lebih menampakkan kecenderungan tersebut, seperti konflik dan kecemasan, dibandingkan arsitek kreatif atau yang biasa-biasa saja. Seniman kreatif lebih memiliki bakat untuk mempengaruhi orang lain dibandingkan dengan arsitek dan ekonom.  Seniman tidak pernah bermaksud untuk mempengaruhi orang lain dibandingkan dengan politikus atau ekonom. Namun orang lain cenderung terpengaruh dengan gaya seorang seniman apakah itu pelukis, penyanyi atau penari. Tingkah laku, gaya hidup, penampilan seniman sangat cepat mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain itu gila-gila (mania)
Sebuah karya seni adalah karya yang dibuat atau dilakukan manusia secara sadar. Gustav Jung membagi psyche dalam tiga bagian, salah satu di antaranya adalah ketidaksadaran pribadi yang di dalamnya tercakup segala sesuatu yang tak sadar, namun dapat menjadi sadar. Jung berseberangan dengan Freud yang selalu menekankan naluri, Freud memandang mimpi sebagai pembuktian dari kerja pikiran tak sadar dan membuktikan keberadaannya. Freud merujuk mimpi sebagai “jalan besar”  untuk mengerti lebih dalam mengenai ketidaksadaran. Ketidaksadaran pribadi seperti yang dipahami sebagian besar orang tentang ketaksadaran di dalamnya, termasuk memori-memori yang dapat dengan mudah diingat kembali dan yang telah ditekan untuk alasan-alasan tertentu.
B.F. Skinner,  seorang psikolog prilaku dari Harvard Amerika menemukan prinsip-prinsip penting  tentang pengkondisian, sebuah tipe belajar yang melibatkan  penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment). Sebagai seorang tokoh penganjur modifikasi prilaku, Skinner mengembangkan teknik “pembiasaan yang bekerja”, seorang seniman yang sedang memahat batu atau menorehkan cat di kanvasnya, apabila ia menemukan hasil yang baik, ia akan diperkuat oleh apa yang dibuatnya dan akan terus melanjutkan apa yang dimulainya. Sebaliknya apabila seniman tidak menemukan sesuatu yang dapat dilanjutkan dari apa yang dimulainya, maka ia akan urung melanjutkannya, kreasinya macet untuk sementara. Teori Skiner bertentangan dengan apa yang dikatakan Freud tentang kekuatan bawah sadar, Skiner menolak segala pernyataan tentang proses batin yang tak terlihat. Ia berpendapat bahwa kreasi artistik adalah suatu prilaku yang bisa dilihat, dan merupakan penguatan dari lingkungan. Sehingga prilaku seniman tidak perlu dijelaskan dari segi jiwa maupun keadaan emosinya. Prilaku seniman secara keseluruhan dibentuk oleh penghargaan dan hukuman yang dapat diukur. Tidak ubahnya seperti anak-anak dan yang paling rendah lagi seperti prilaku semua binatang
Seniman berkarya dengan memanggil kembali memori-memori dalam pikirannya, ia membandingkan sesuatu yang diamatinya dengan sesuatu yang ada dalam memori pikirannya sehingga muncullah sebuah lukisan yang sesuai dengan pengamatannya dan apa dalam pikirannya. Jadi sebuah karya seni berbeda dengan potret yang mirip seperti apa dalam realitas yang dibidik. Sebuah lukisan yang digarap dengan pengamatan langsung akan berbeda hasilnya dengan apa  realitanya. Dalam melukis, seorang seniman lebih menonjolkan ego strenghnya daripada naluri. Sigmund Freud mengingatkan bahwa untuk memahami seniman harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dari teorinya tentang kepribadian yang dikembangkan  berdasarkan kenangan, mimpi, dan asosiasi bebas dari para pasien neurotic (penderita gangguan emosi / kejiwaan).
Beruntunglah seniman memiliki kekuatan ego yang tidak sampai ia tidak menguasai diri, tetapi seniman yang tidak percaya diri, tidak akan menemukan dirinya jadi perbincangan mereka yang mania (gila-gila) pada karya seni. Masih lebih baik jadi perbincangan golongan mania daripada golongan amatia (hilang ingatan) walaupun tidak baik untuk tidak menjadi perbincangan salah satu di antaranya. Seniman harus memiliki Ego Strength agar ia eksis dalam konsep karyanya. (Dr. Daulat Saragi, M.Hum. Pengajar Filsafat di Program Studi Antropologi Sosial Sekolah Pascasarjana Unimed).

Tugu Marga, Seni Penyadaran Bagi Orang Batak

ANTROPOLOGI SENI :
TUGU MARGA, SENI PENYADARAN BAGI ORANG BATAK
Oleh: Dr. Daulat Saragi, M.Hum.

Tugu merupakan bagian penting bagi kebudayaan Batak. Berbagai upaya dilakukan kelompok marga untuk dapat mendirikannya. Semakin mewah bentuknya dan semakin besar ukurannya, maka semakin bangga  kelompok yang memilikinya. Pendirian tugu sangat penting, karena sebagian orang Batak masih mempercayai adanya hubungan manusia dengan roh si mati. Makna tugu sebenarnya adalah jauh daripada fungsi bangunan itu sendiri.  Bagi sebagian orang Batak selalu memesankan kepada keturunannya agar kelak ia tua dan meninggal, jenazahnya dikuburkan ke kampung halamannya, walaupun ia berada jauh di tanah rantau seperti pulau Jawa. Hal ini terdapat dalam filosofi Arga do bona ni pinasa (betapa pentingnya kampung halaman), kampung halaman, tempat leluhur merupakan suatu hubungan sosial agar keturunannya tidak lupa pada leluhurnya.
Tugu adalah sebuah karya seni  yang mengandung makna untuk peringatan suatu peristiwa, atau untuk menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Tugu boleh saja hanya berupa tiang besar terbuat dari batu, atau sebuah patung atau bangunan. Dahulu di India disebut Stamba, sebuah tiang besar sebagai tanda peringatan pertama sekali suatu suku mendirikan kampung. Di Palestina,  Yakub mendirikan batu yang dibuat sebagai alas kepala ketika ia tidur, ia namai tempat itu Betel sebagai peringatan bahwa tempat itu merupakan pintu gerbang surga. Bagi suku Indian, mereka menyusun beberapa batu  sampai tinggi, sebagai tanda sebuah perkampungan dan kuburan kepala suku.
Dalam istilah Batak, Tugu disebut juga Simin (maksudnya bangunan terbuat dari semen, dibedakan dari makam biasa). Tambak disebut pada bangunan makam yang agak tinggi tempat dikumpulnya tulang-belulang nenak moyang beberapa generasi. Tugu hanyalah disebut untuk bangunan tanda peringatan atau perkumpulan suatu marga. Diharapkan dapat mempersatu marga yang telah berkembang bercabang-cabang, dan sekaligus dapat mengatahui histori nenak moyangnya.

Tugu, Sebagai Meterai Kepemilikan Wilayah
Salah satu fungsi tugu adalah secara sosial dan politis sebagai pemberitahuan pemilik tanah atau huta (kampung). Nama kampung sesuai dengan nama marga penghuninya, dalam arti marga itulah yang membuka kampung itu dahulunya. Kampung A adalah dihuni marga A. Sifat patrialkal orang Batak membuat marga istri tidak masuk marga tanah. Tidak heran di setiap kampung selalu didirikan tambak (bangunan tempat tulang-belulang leluhur) dari beberapa generasi satu marga, atau tugu peringatan kesatuan marga tanah. Pentingnya mendirikan tugu bagi masyarakat Batak disebabkan sifat orang Batak suka merantau dan terbuka, tidak heran sekarang ini banyak kampung telah dihuni marga-marga lain di luar marga tanah bahkan suku-suku lain. Oleh sebab itu  berdirinya tugu dan patung merupakan suatu pemberitahuan dan meterai hak kepemilikan tanah suatu marga.
 Fungsi tugu dan tambak jauh melebihi seperti apa yang diketahui orang, ada dimensi lain yang mampu menembus spasial-temporal dan pemersatu marga, serta menjunjung tinggi filosofi Argado bona ni pinasa.
Setiap orang Batak sangat mencintai kampung halamannya, setiap orang yang mencantumkan nama marga di belakang namanya, pasti tahu asal marganya atau kampung halamannya.  Kembali ke kampung halaman dalam arti kembali ke haribaan ibu, kembali pada kesucian “rahim” ibu yang melahirkan. Merenungkan kembali segala perjalanan hidup di rantau orang. Kampung halaman adalah “rahim” tempat ia dikandung, dilahirkan dan dibesarkan, refleksi pengenalan pada diri sendiri. Kembali ke makam leluhur sebagai membangunkan kesadaran bahwa semakin dekat pada kematian, dan setiap orang pasti mati, oleh sebab itu amal dan sumbangsihnya pada kampung halaman harus merupakan suatu “tugu” hidup yang bermanfaat pada masyarakatnya.
Orang Sukses tidak pernah melupakan kampung halamannya, kampung halaman adalah hulu dari segala detak nadi aktivitas, menyadarkan kembali siapa ia sebenarnya, apa yang sudah ia perbuat. Hilir segala aktivitas ternyata menghantarkan ia pada hulu atau awal kehidupan yang bermakna. Apalah arti sebuah tugu kalau hanya sebuah pelipur mata dan penopang wibawa. Tugu akan lebih bermakna jika ia bisa hidup dalam hati masyarakat sekelilingnya, seperti bangunan sekolah, kesehatan, dan bea siswa sampai S2 dan S3. Bukankah kelak seorang anak bangga apabila ia meraih gelar Doktor dari bea siswa kumpulan marga kampungnya sendiri?. Inilah Tugu yang benar-benar tangguh. Tugu sebagai tanda peringatan bahwa kampung halaman sebagai hulu aliran air akan mencapai hilir pada hulu semula.

Pro-Kontra Mendirikan Tugu
Sejak lama sudah terjadi pro-kontra pembangunan tugu, namun tetap saja muncul tugu-tugu baru yang biayanya  cukup mahal. Bangunan tugu bisa sampai menelan biaya ratusan juta, apalagi dilengkapi dengan relief dan patung-patung yang indah. Memang mubajir jika dibandingkan dengan keadaan kehidupan di daerah itu.  Harus diakui bahwa pemrakarsa pendirian Tugu bukanlah warga setempat, melainkan orang-orang perantau yang sukses. Namun  demikian warga setempat selalu turut berpartisipasi, karena membawa nama marga leluhur.
Yang patut diperhatikan, mendirikan tugu jangan menjadi ajang gengsi, ingin lebih hebat dari marga lain. Dalam setiap kehidupan, Tugu sangat diperlukan sebagai simbol peringatan suatu peristiwa, agar peristiwa sejarah itu tidak gampang dilupakan. Sama dengan nama diri adalah tugu dari segala prilaku raga dan jiwa. Mendengar atau mengingat nama, orang dapat teringat akan sesuatu peristiwa yang mengagumkan, menjengkelkan, menggelikan dari laku hidup yang punya nama. Tidak mudah menjadikan nama diri menjadi tugu, dan tidak mudah menjadikan tugu untuk selalu dikenang. Prilaku yang peduli kepada lingkungan sekitar, prilaku yang peduli pada kemiskinan, prilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, justru inilah merupakan tugu yang bermakna bagi orang lain. Melihat tugu sama dengan membuka kesadaran bahwa kita belum apa-apa walau sudah berbuat. Bahwa kita sadar masih miskin rasa, walau kita sudah kaya harta. Dan justru kita masih cerai berai walau kita berusaha satu.
Saran
Kadung membuat Tugu, jangan tanggung-tanggung, buatlah yang mampu bercerita, penuh dengan relief-relief perjalanan sukses nenak moyang seperti yang sudah dibuat marga-marga tertentu di sekitar tepi Danau Toba.  Jadikanlah Samosir dengan julukan Pulau Seribu Tugu, asal-usul marga Batak sesuai Legenda, apalagi nama-nama kampung di samosir adalah nama-nama marga orang Batak. Kelak perantau sukses meraka akan kembali keharibaan ”rahim” bona pasogit (kampung halaman) sebagai hulu dari perjalanan hidup. Dari pada Pro-kontra yang tidak ada hasil, Ceng Beng pada orang Tionghoa dapat ditiru orang Batak, untuk berkunjung ke makam leluhur. Kita pasti sudah lebih arif untuk tidak menjadikannya berhala melainkan jadi objek wisata. Dan bukankah ini dapat menjadi paket wisata akhir tahun yang menjanjikan Pemkab Samosir?. Sebab Tugu yang didirikan di desa A adalah simbol pemersatu marga A di seluruh dunia. Suatu Local Wisdom yang patut dilestarikan menjadi Nation Wisdom.
(Penulis: Pengajar Filsafat di Program Studi Antropologi Sosial Sekolah Pascasarjana UNIMED).